CDL: Media Policing

oleh -790,115 views
oleh

JAKARTA – Era digital, Era Volatilitas, Uncertainty, Complexity, Ambiguitas (Vuca), yang serba cepat tak terduga yang kompleks dan penuh ketidakpastian perlu pemimpin dan kepemimpinan di era digital untuk menanganinya.

Media di era digital menjadi arena atau ruang yang dipilih dan digunakan untuk berbagai kepentingan hidup dan kehidupan manusia di semua gatra kehidupan bisa dilakukan di sana.

Dari masalah pribadi sampai masalah politik kenegaraan, ekonomi, sosial budaya hingga pelayanan publik pun bisa dilakukan.

Warga pengguna dunia virtual pun memiliki nama (Warga net atau netizen). Mereka menjalankan aktivitas dalam dunia virtual. Media terutama media sosial mampu menggeser media konvensional.

Informasi dan komunikasi begitu cepat. Apa saja ada dan apa saja bisa bahkan dimana saja siapa saja pun bisa.

Media menjadi pilar literasi yang menjadi arena pencerahan, pencerdasan, pengayaan, pemberdayaan, transformasi pengetahuan, dan banyak hal positif bagi hidup dan kehidupan lainnya.

Media sebagai pilar literasi juga untuk mengatasi dampak kemajuan teknologi.
Berkembang pesatnya informasi berdampak pada munculnya “Post Truth”.

Post Truth merupakan era pengumpulan daya nalar yang dapat berdampak meng obok obok emosi dan persepsi publik yang dapat dikendalikan untuk menimbulkan potensi konflik. Logika tidak lagi diutamakan yang dipentingkan emosional spiritual.

Kemasan primordialisme digelorakan agar kebencian semakin membara. Tanpa pikir panjang peradilan sosial pun merebak di semua lini.

Saling menuduh saling menyalahkan saling menghina saling meng obok obok jiwa hingga harga diri. Tanpa sebutir peluru keluar moncong laras senjata perang dapat dimulai.

Post truth kontra produktif, pembodohan menggelora di mana mana. Era post truth menjadi ajang pemutar balikkan fakta.

Isi media diacak adul sehingga antara fakta dan kebohongan bahkan kemasan dalam primordialisme akan dapat dikembangkan menjadi pemicu konflik. Dari melempar issue, melabel hingga ujaran ujaran kebencian.

Opini publik dapat di obok obok dan dibingungkan dengan primordialisme untuk menggerus nalar dan ujungnya pada kebencian.

Tatkala kebencian sudah merasuk di dalam opini publik tinggal menunggu trigger untuk meledakkannya.

Berbagai masalah di era post truth yang berdampak pada gangguan keteraturan sosial antara lain:

1. Premanisme yang tumbuh subur dalam lingkungan yang sarat dengan KKN, ketidak adilan, dan Kesewenang wenangan.

2. Birokrasi yang lebih menekankan pada pendekatan personal yang berdampak buruknya pelayanan kepada publik.

3. Berbagai bentuk kejahatan – Kejahatan konvensional, kejahatan trans nasional, kejahatan yang luar biasa atau extra ordinary crime, kejahatan siber, kejahatan jalanan dan kejahatan kerah putih, narkotika serta Berbagai bentuk pelanggaran – Pelanggaran administrasi, pelanggaran HAM, pelanggaran operasional dan tata kelola. Munculnya berbagai hal yang ilegal.

4. Faktor alam dan lingkungan Alam dan lingkungan dari bencana alam hingga kerusakan alam lingkungan dari udara, air, tanah, gunung, laut, dan berbagai kawasannya.

5. Faktor sumber daya manusia tingkat kecerdasan dan kualitas sumber daya manusia yang redah yang sarat dengan primordialisme.

6. Faktor politik dan kebijakan publik, politik yang terlambat atau tidak mampu menghadapi perubahan sosial, globalisasi dan modernisasi, perubahan begitu cepat.

7. Era post truth, hoax, serangan siber, dan sebagainya melalui media.

8. Gaya hidup hedonisme yang berdampak tergerusnya nilai nilai budaya luhur.

9. Lemahnya penegak hukum dan penegakan hukum dan sistem hukumnya.

10. Sistem yang manual, parsial dan konvensional sehingga berdampak potensi penyimpangan yang begitu besar.

Sejalan dengan pemikiran mengatasi era Vuca polisi dan pemolisiannya di era digital menjadi bagian penting memanage media melalui ” Media Policing” bagi keteraturan sosial di dunia virtual.

Media Policing membangun literasi media yang menjadi standar fakta kebenaran maka, menafikan pembenaran yang membodohi, menjerumuskan bahkan merusak sendi sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Media Policing dengan literasi nya di harapkan mampu untuk:

1. Menjadi standar informasi atau berita yang benar sesuai fakta dan data.

2. Mampu menginspirasi yang artinya kreatif dan inovatif.

3. Mendorong orang lain berbuat baik dan benar / membangun budaya atau peradaban.

4. Mampu memberitakan hal hal yang up to date.

5. Mampu mang counter issue.

6. Mampu membuat sesuatu yang fun indah dan menghibur.

7. Penumbuh kembangan literasi.

Media Policing menjadi basis keteraturan sosial dunia virtual. Di era digital, dunia virtual menjadi wahana bagi hidup dan kehidupan.

Sebaliknya juga dapat menghambat merusak hingga mematikan produktivitas.

Pembunuhan karakter hingga mengganggu hidup kehidupan berbangsa dan bernegara bisa dilakukan. Hoax menjadi cara pembodohan penyesatan pun secara virtual.

Media Policing dapat menjadi standar bagi:

1. Media informasi.

2. Media komunikasi.

3. Media sosialisasi.

4. Media edukasi.

5. Media kepentingan politik.

6. Media untuk labeling.

7. Media bisnis.

8. Media penggalangan solidaritas.

9. Media penghakiman sosial.

10. Media membangun jejaring sosial.

11. Media laboratorium sosial Dan masih banyak fungsi lainnya.

Melalui ” Media Policing” pemetaan wilayah, masalah dan potensi dari berbagai kepentingan dapat diberdayakan untuk:

1. Memberdayakan primordial sebagai kekuatan kebhinekaan yang mempersatukan.

2. Menggunakan soft power dan smart power dalam berbagai profesi menjadi jembatan komunikasi dan solidaritas.

3. Membuka peluang bisnis dan pelayanan publik secara virtual.

4. Mendapatkan dukungan viewer maupun follower dari warganet.

5. Mengetahui dan memetakan opini publik melalui intelejen media.

6. Memberikan inspirasi, motivasi atas fungsionalitas media sosial secara luas tentu akan berdampak pada perilaku netizen dengan kemanusiaan, keteraturan sosial maupun peradaban.

Literasi Media akan menjadi bagian penting untuk bagi kinerja intelijen dari pengumpulan data, analisa, produk dan networking ini dapat dilakukan dengan memberdayakan media sosial sebagai bagian dari laboratorium sosial.

Dalam kehidupan masyarakat boleh dikatakan ada juga dalam media sosial.

Dari pemetaan pembuatan pola polanya dan pengumpulan data maka akan dapat dihubung hubungkan.

Dapat dianalisa untuk menghasilkan algoritma yang berupa info grafis, info statistik, maupun info virtual lainnya.

Algoritma tadi dapat digunakan sebagai model untuk memprediksi mengantisipasi dan memberi solusi.

Intelejen media akan membantu menjembatani untuk terus berkembangnya fungsi media sosial secara positif dan mencerdaskan para warga net agar tidak hanyut dlm berita hoax.

Selain itu juga bagi penegakkan hukum warga net yang dengan sengaja memperkeruh atau mengganggu keteraturan sosial.

Media Policing dapat mendukung:

1. Implementasi E Policing yang mencakup adanya Back office, Application yang berbasis Artificial Intelijen dan Net Work yang berbasis Internet of things dapat berfungsi sebagaimana semestinya dan menghasilkan Algoritma yang berupa info grafis, info statistik maupun info virtual lainnya sebagai prediksi antisipasi maupun solusi yang dapat diakses secara real time, on time dan any time.

2. Dapat menjadi Pusat K3i (Komunikasi, Koordinasi, Komando dan Pengendalian serta Informasi) dalam memberikan pelayanan prima di bidang keamanan, keselamatan, hukum, administrasi, informasi, dan kemanusiaan secara prima.

3. Diimplementasikan dalam Smart Management dan Smart Operation. Diawaki petugas polisi siber (Cyber cops).

4. Mampu memonitor situasi dan kondisi lalu lintas terutama pada kawasan black spot, trouble spot atau kawasan kawasan penting lainnya.

5. Mendukung Sistem Pengamanan Kota (Sispam Kota).

6. Mendukung Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) melalui Big Data System dan One Stop Service Sistem.

Artikel Tulisan Karya Kalemdiklat Polri Komjen Pol Prof. Dr. Chryshnanda Dwilaksana, M.Si.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.